Kaos adalah Pakaian sederhana ringan untuk tubuh bagian atas, biasanya lengan pendek [ T - shirt disebut demikian karena bentuknya]. Sebuah T-shirt biasanya tanpa kancing dan kerah, dengan leher bulat dan lengan pendek. Busana ini bisa dikenakan oleh siapa saja, baik pria dan wanita, dan untuk semua kelompok umur, termasuk bayi, remaja, dan dewasa.
Di Indonesia, kata T-shirt diterjemahkan menjadi Kaos Oblong.
Terjemahan ini pun tidak terlepas dari sejarah perjalanan kaos itu sendiri. Dalam Kamus Indonesia-Inggris Hassan Shadily (1997) menyamakatakan Kaos Oblong dengan kata kaos dalam, singlet, dan undershirt.
T-shirt biasanya terbuat dari serat kapas atau polyester (atau dari dua campuran), rajutan bersama dalam stitch jersey yang memberikan T-shirt khas tekstur yang lembut. T-shirt bisa dihiasi dengan teks dan / atau gambar, dan kadang-kadang digunakan untuk iklan.
T- Shirt atau kaos oblong pada awalnya digunakan sebagai pakaian dalam tentara Inggris dan Amerika pada abad 19 sampai awal abad 20.
Masyarakat umum belum mengenal penggunakan kaos atau T-Shirt dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, para tentara yang menggunakan T-Shirt polos tanpa desain ini pun hanya menggunakannya ketika udara panas atau aktivitas-aktivitas yang tidak menggunakan seragam. Ketika itu warna dan bentuknya (model) itu-itu melulu. Maksudnya, benda itu berwarna putih, dan belum ada variasi ukuran, kerah dan lingkar lengan
T-shirt alias kaos oblong ini mulai dipopulerkan sewaktu dipakai oleh Marlon Brando pada tahun 1947, yaitu ketika ia memerankan tokoh Stanley Kowalsky dalam pentas teater dengan lakon “A Street Named Desire” karya Tenesse William di Broadway, AS. T-shirt berwarna abu-abu yang dikenakannya begitu pas dan lekat di tubuh Brando, serta sesuai dengan karakter tokoh yang diperankannya. dan film Rebel Without A Cause (1995) yang dibintangi James Dean. Pada waktu itu penontong langsung berdecak kagum dan terpaku. Meski demikian, ada juga penonton yang protes, yang beranggapan bahwa pemakaian kaos oblong tersebut termasuk kurang ajar dan pemberontakan. Tak pelak, muncullah polemik seputar kaos oblong.
Polemik yang terjadi yakni, sebagian kalangan menilai pemakaian kaos oblong – undershirt – sebagai busana luar adalah tidak sopan dan tidak beretika. Namun di kalangan lainnya, terutama anak muda pasca pentas teater tahun 1947 itu, justru dilanda demam kaos oblong, bahkan menganggap benda ini sebagai lambang kebebasan anak muda. Dan, bagi anak muda itu, kaos oblong bukan semata-mada suatu mode atau tren, melainkan merupakan bagian dari keseharian mereka.
Polemik tersebut selanjutnya justru menaikkan publisitas dan popularitas kaos oblong dalam percaturan mode. Akibatnya pula, beberapa perusahaan konveksi mulai bersemangat memproduksi benda itu, walaupun semula mereka meragukan prospek bisnis kaos oblong. Mereka mengembangkan kaos oblong dengan pelbagai bentuk dan warna serta memproduksinya secara besar-besaran. Citra kaos oblong semakin menanjak lagi manakala Marlon Brando sendiri – dengan berkaos oblong yang dipadu dengan celana jins dan jaket kulit – menjadi bintang iklan produk tersebut.
Mungkin, dikarenakan oleh maraknya polemik dan mewabahnya demam kaos oblong di kalangan masyarakat, pada tahun 1961 sebuah organisasi yang menamakan dirinya “Underwear Institute” (Lembaga Baju Dalam) menuntut agar kaos oblong diakui sebagai baju sopan seperti halnya baju-baju lainnya. Mereka mengatakan, kaos oblong juga merupakan karya busana yang telah menjadi bagian budaya mode.
Demam kaos oblong yang melumat seluruh benua Amerika dan Eropa pun terjadi sekitar tahun 1961 itu. Apalagi ketika aktor James Dean mengenakan kaos oblong dalam film “Rebel Without A Cause”, sehingga eksistensi kaos oblong semakin kukuh dalam kehidupan di sana.
Perlahan namun pasti, T-shirt mulai menjadi bagian dari busana keseharian yang tidak hanya dipakai untuk daleman, tetapi juga menjadi pakaian luaran. Pada pertengahan tahun 50an, T-shirt sudah mulai menjadi bagian bagian dari dunia fashion. Namun baru pada tahun 60an ketika kaum hippies mulai merajai dunia, T-shirt benar-benar menjadi state of fashion itu sendiri. Sebagai sebuah simbol (lagi-lagi) anti kemapanan, para hippies ini menggunakan T-shirt/kaos sebagai salah satu simbolnya. Semenjak saat itulah revolusi T-shirt terjadi secara total. Para penggiat bisnis menyadari bahwa T-shirt dapat menjadi medium promosi yang amat efektif serta efesien. Segala persyaratan sebagai medium promosi yang baik ada di T-shirt. Murah, mobile, fungsional, dapat dijadikan suvenir, dan seterusnya.
Disaat yang bersamaan, kelompok-kelompok tertentu macam hippies, komunitas punk, atau organisasi politik, juga menyadari bahwa T-shirt dapat menjadi medium propaganda yang sempurna selain medium yang telah ada. Statement apapun dapat tercetak diatasnya, tahan lama, dan penyebarannya mampu melewati batas-batas yang tidak dapat dicapai oleh medium lain, seperti poster misalnya.
Dengan segala kesempurnaannya, T-shirt tidak lagi menjadi sederhana. Jelas, secara fungsional benda tersebut masih berlaku sebagai sebuah sandang. Namun dibalik itu semua, T-shirt memiliki value yang melebihi dari fungsi dasarnya. Desain T-Shirt yang terus berkembang sampai sekarang selaras dengan perkembangan manusia dan teknologi yang memang terus berkembang. Sejarah akan terus mencatat desain berbagai kaos seperti tie dye yang lekat dengan flowers generation, komunitas punk yang lekat dengan T-Shirt sobek, polos bahkan dengan desain typohraphy yang mencolok, dan siapa yang tidak kenal dengan kaos I Love New York yang fenomenal itu.
Pemakaian kaos dalam berbagai kesempatan memberikan juga peluang bagi para desainer dalam berkarya. Fungsinya yang semakin melebar sangat bisa mendukung perkembangan desain itu sendiri. Kreatifitas menggunakan medium T-Shirt dalam berkarya desain membuka peluang pemaknaan karya desain serta perluasan pengetahuan tentang desain pada msyarakat. Berjamurnya clothing dan distro di kalangan bisnis modern adalah salah satu kemajuan yang positif dalam dunia desain. Berbagai karya desain yang diimplementasikan dalam medium T-Shirt memberi warna bagi kehidupan, tidak hanya bentukan huruf tapi foto, karya desain yang dulu tidak memungkunkan untuk menggunakan media T-Shirt, kini semuanya menjadi mungkin. Namun, perkembangan yang demikian masif harus tetap juga disikapi dengan baik, kemasifan sesuatu hal terkadang menjadikan desain hanya sebagai produk instan yang tidak memperhatikan faedah-faedah desain, karena itulah pengetahuan desainer akan prinsip-prinsip desain sangat diperlukan.
Di Indonesia, konon, masuknya benda ini karena dibawa oleh orang-orang Belanda. Namun ketika itu perkembangannya tidak pesat, sebab benda ini mempunyai nilai gengsi tingkat tinggi, dan di Indonesia teknologi pemintalannya belum maju. Akibatnya benda ini termasuk barang mahal.
Namun demikian, kaos oblong baru menampakkan perkembangan yang signifikan hingga merambah ke segenap pelosok pedesaan sekitar awal tahun 1970. Ketika itu wujudnya masih konvensional. Berwana putih, bahan katun-halus-tipis, melekat ketat di badan dan hanya untuk kaum pria. Beberapa merek yang terkenal waktu itu adalah Swan dan 77. Ada juga merek Cabe Rawit, Kembang Manggis, dan lain-lain. Dan tren kaos oblong rupa-rupanya direkam pula oleh Kartunis GM Sudarta melalui tokoh Om Pasikom dan kemenakannya dengan tajuk “Generasi Kaos Oblong” (Harian Kompas, 14 Januari 1978).
Sumber :
http://www.thefreedictionary.com/T-shirt
http://www.artikata.com/arti-181797-t-shirt.html
http://en.wikipedia.org/wiki/T-shirt